Home » , » Masjid Agung Banten,Lambang Toleransi dan Kemashuran Islam

Masjid Agung Banten,Lambang Toleransi dan Kemashuran Islam

Written By Admin Web on Selasa, 16 Juli 2013 | 08.05


Di kawasan Komplek Masjid Agung para pendatang dari daerah banten bahkan dari luar banten akan disambut oleh ibu-ibu “penukar uang receh”, pengemis, dan para pedagang yang menggelar dagangnnya. Suatu keadaan yang jarang ditemui di sekitar komplek masjid atau museum serta kawasan wisata lainnya. Yang menarik lagi adalah bangunan di sekitar komplek Masjid Agung.

Arsitektur Masjid Banten hampir sama dengan masjid Agung Demak dan Masjid Agung Cirebon karena dibangun oleh arsitek yang sama yaitu Raden Sepat dari kerajaan Majapahit. Menurut sejarah bangunan Masjid Agung Banten banyak mengadopsi bangunan-bangunan Hindu. Namun tetap memprioritaskan perspektif Islam. 

Bangunan Masjid salah satunya Atap Masjid seperti punden berundak dengan atap tumpang lima yang menggambarkan Rukun Islam yang Lima yaitu Syahadat, Shalat, Puasa, zakat, dan Haji. Pintu Masjid seluruhnya berjumlah Enam buah yang merupakan simbol dari Rukun Islam. Pintu masjid pun sengaja dibuat kecil agar setiap orang yang masuk masjid tunduk sebagai simbol bahwa sebagai manusia harus bertawadhu kepada Allah dan semua sama tidak ada perbedaan. 

Tiang masjid terdiri dari 12 buah melambangkan 12 bulan dalam satu tahun, serta keseluruhan tiang yang ada di sekitar masjid berjumlah 24 yang melambangkan waktu dalam satu hari penuh, mengingatkan kepada manusia bahwa harus memanfaatkan setiap waktu yang disediakan untuk beribadah. 

Tinggi masjid mulai dari dasar sampai puncak masjid 17 meter yang merupakan simbol dari Jumlah rakaat shalat wajib dalam 1 hari serta 17 Ramadan sebagai tanggal diturunkannya Alquran. Penyangga tiang (umpak) berbentuk seperti buah labu sebagai simbol kemakmuran dari masyarakat Banten itu sendiri. 

Di halaman masjid terdapat 4 kolam yang melambangkan 4 mazhab yang ada di Indonesia, selain itu berfungsi pula untuk mencuci kaki sebelum memasuki masjid bagi para jamaah. 

Masjid ini dibangun pada abad ke 16 atau sekitar tahun 1560 M. Pada tahun yang sama pula dibangun sebuah menara masjid yang berfungsi sebagai tempat untuk mengumandangkan adzan serta tempat untuk memantau keadaan di teluk Banten. Menara tersebut dibangun oleh arsitek asal Cina yaitu Cek Ban Cut yang diberi gelar Pangeran Wiradiguna oleh Sultan Ageng Tirtayasa kemudian direnovasi oleh Henrik Lucasz Cardeel dari Belanda pada tahun 1683. Pada saat itulah masuk pengaruh budaya Eropa yang sebelumnya banyak dipengaruhi oleh agama Budha yaitu dengan adanya padma (bunga teratai) pada puncak menara. Bunga teratai adalah lambang agama Budha. Terlihat jelas adanya akulturasi budaya yang kuat dalam komplek masjid tersebut.

Tiyamah pada awalnya dibangun untuk tempat pertemuan bagi para ulama setiap 40 hari sekali mengadakan pengajian, diskusi, serta laporan keadaan dari daerah masing-masing mengenai keadaan daerahnya. Kemudian setelah kesultanan runtuh oleh Daendels pada tahun 1866, Banten pun menjadi kota mati. Kemudian lahirlah Serang Banten. Setelah itu Tiyamah digunakan sebagai tempat penyimpanan alat-alat perang dan alat-alat rumah tangga (museum). 

Di komplek Masjid ini terdapat kuburan Maulana Hasanuddin (Sultan Banten 1), Permaisuri Maulana Hasanuddin (Nyai Ratu Ayu Kirana), Maulana Muhammad Nasruddin, Sultan Ageng Tirtayasa (Generasi ke 6), Sultan Haji (Abu Nasr Abdul Kohar), Sultan Abdul Fadhol (Generasi ke 8), dan Permaisuri dari Abdul Fadhol.
Share this article :

Posting Komentar

 
Support : Web Master | AFF Template | Web Design
Copyright © 2013. ALFUSOFTMEDIA - All Rights Reserved
Template Created by Web Master Published by web Design
Proudly powered by HTML 5